oleh Ahmad Shofi
Bermain petak-umpet waktu kanak-kanak sungguh menyenangkan. Kita bisa berlarian ke sana-ke mari, bisa bersembunyi di tempat yang sepi (jarang diketahui orang), bisa bercanda gurau. Bahkan, tidak jarang sampai berkelahi. Ada juga permainan lain, seperti bentengan. Selain asyik, permainan ini selalu mengajarkan kita untuk bekerjasama. Setiap tim diwajibkan untuk menjaga benteng pertahanannya dari kepungan lawan. Kita juga mengenal permainan karet-gelang, bekel, dan dakon. Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak perempuan. Tetapi, tidak jarang pula anak laki-laki ikutan ”nimbrung”. Yang tidak kalah seru adalah permainan gundu (kelereng), gangsing, dan enggrang. Ketiga permainan ini biasanya dimainkan oleh anak laki-laki. Permainan ini tidak hanya mengandalkan kemahiran dan kejelian, tetapi ada juga unsur sportivitas di dalamnya. Sebagian permainan di atas tentu sudah pernah kita lakukan sewaktu kanak-kanak. Sekarang, sulit rasanya menemukan anak-anak yang sedang bermain. Permainan tradisional mereka sudah tergerus virus modernisasi. Film bioskop, game, internet, komik, dan televisi telah menggantikan posisi permainan tradisional. Positifkah?? Bergantung.
Dalam masyarakat marginal, permainan tradisional tersebut mungkin masih bisa ditemui. Anak-anak desa yang tinggal di bantaran sungai, di kampung kumuh, di daerah yang masih memiliki banyak sawah dan kebun, di pegunungan dan perbukitan yang asri dan hijau mungkin masih bisa bermain dengan leluasa. Di samping itu ikatan emosional antara mereka (anak-anak) terhadap kebudayaan yang dianut masih sangat kental. Jadi, anak-anak tidak hanya sekadar bermain, tetapi mereka juga belajar menghargai adat istiadat dan budaya yang mereka anut. Bahkan mereka turut melestarikan dan menjaga tradisi budaya peninggalan sejarah nenek moyang mereka. Bali, sebuah pulau di Indonesia yang sangat tersohor sampai ke mancanegara, yang kita kenal sebagai surga dunia, toh masih memegang erat budayanya. Kita akan menjumpai banyak anak Bali yang belajar tari, bahkan sudah mahir. Tetapi, mereka tetap bisa bermain-main layaknya anak-anak di desa lain.
Sementara, dalam masyarakat modern, permainan tradisional sudah jarang sekali dilakukan, bahkan hampir punah. Sangat disayangkan. Padahal, permainan tradisional sangat bermanfaat bagi perkembangan psikologi anak. Mengapa demikian? Tentunya kita mafhum, bahwasanya masa kanak-kanak adalah masa bermain. Masa berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Dalam dunia mereka, bermain adalah sesuatu yang wah. Sesuatu yang tak ternilai harganya. Ibarat sebuah surga dunia yang sulit diperoleh kembali, bahkan tidak bisa tergantikan oleh apa pun, sekalipun kemewahan.
Sekarang, media elektronik, seperti televisi nampaknya menjadi magnet tersendiri. Televisi memang banyak memberikan kita informasi. Informasi mengenai suatu kejadian atau peristiwa yang up to date dari daerah atau mancanegara akan bisa didapatkan tanpa harus mengunjungi daerah atau negara tersebut. Sungguh luar biasa. Setelah televisi, sekarang muncul internet. Sama halnya dengan televisi, internet pun menyuguhkan berbagai pengetahuan dan informasi yang sangat menarik. Televisi maupun Internet juga cocok digunakan sebagai media pembelajaran bagi anak. Tetapi, kedua media elektronik tersebut bisa berbuah malapetaka apabila disalahgunakan.
Di antara sekian banyak program televisi, sangat sedikit sekali yang bermanfaat untuk perkembangan jiwa anak. Ya, lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali. Acara Si Bolang (bocah petualang) dan Surat Sahabat merupakan dua di antaranya. Si Bolang, salah satu program yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta, merupakan program yang diminati anak. Acara tersebut mengajak kita berpetualang mengelilingi Indonesia. Ya, acara tersebut menyuguhkan informasi mengenai budaya masyarakat tempat Si Bolang menetap. Yang menarik dari program acara tersebut adalah kegiatan Si Bolang itu sendiri. Mulai dari sekolah, bagi mereka yang mempu, bermain-main, berenang di kali, mencari ikan, menari, berkebun, beternak, bekerjasama, memanjat pohon, unjuk kebolehan, dan masih banyak lagi. Benar-benar contoh suatu masyarakat marginal. Tidak hanya bermain, anak-anak yang menonton acara tersebut bisa juga belajar banyak hal dari Si Bolang. Seperti halnya Si Bolang, Surat Sahabat pun menyuguhkan acara yang serupa. Bahkan, program ini lebih dulu moncer. Kegiatan para sahabat cilik kita sehari-hari menjadi suguhan utama acara ini. Di akhir acara, salah satu sahabat menuliskan sebuah surat yang isinya menceritakan permainan dan pengalaman seru yang mereka lakukan. Kemudian, mereka mengajak para pemirsa di rumah untuk berkunjung ke daerah mereka. “Sahabat, sekian dulu pengalaman yang bisa kami ceritakan. Jangan lupa berkunjung ke daerah kami ya! Sampai jumpa...”. Demikian penggalan ucapan si dubber cilik sebelum mengakhiri acara.
Pesan yang dapat saya sampaikan, sebagai orang tua maupun kakak yang baik, sebaiknya jangan mengekang kebebasan anak dalam bermain. Anak bukan boneka yang bisa kita permainkan begitu saja, bukan juga kertas yang dengan seenaknya bisa kita coret-coret. Tugas kita sebagai orang tua dan kakak adalah terus mengeksplorasi segala kemampuan yang dimilikinya, jangan malah mengeksploitasi! Semoga...
Bermain petak-umpet waktu kanak-kanak sungguh menyenangkan. Kita bisa berlarian ke sana-ke mari, bisa bersembunyi di tempat yang sepi (jarang diketahui orang), bisa bercanda gurau. Bahkan, tidak jarang sampai berkelahi. Ada juga permainan lain, seperti bentengan. Selain asyik, permainan ini selalu mengajarkan kita untuk bekerjasama. Setiap tim diwajibkan untuk menjaga benteng pertahanannya dari kepungan lawan. Kita juga mengenal permainan karet-gelang, bekel, dan dakon. Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak perempuan. Tetapi, tidak jarang pula anak laki-laki ikutan ”nimbrung”. Yang tidak kalah seru adalah permainan gundu (kelereng), gangsing, dan enggrang. Ketiga permainan ini biasanya dimainkan oleh anak laki-laki. Permainan ini tidak hanya mengandalkan kemahiran dan kejelian, tetapi ada juga unsur sportivitas di dalamnya. Sebagian permainan di atas tentu sudah pernah kita lakukan sewaktu kanak-kanak. Sekarang, sulit rasanya menemukan anak-anak yang sedang bermain. Permainan tradisional mereka sudah tergerus virus modernisasi. Film bioskop, game, internet, komik, dan televisi telah menggantikan posisi permainan tradisional. Positifkah?? Bergantung.
Dalam masyarakat marginal, permainan tradisional tersebut mungkin masih bisa ditemui. Anak-anak desa yang tinggal di bantaran sungai, di kampung kumuh, di daerah yang masih memiliki banyak sawah dan kebun, di pegunungan dan perbukitan yang asri dan hijau mungkin masih bisa bermain dengan leluasa. Di samping itu ikatan emosional antara mereka (anak-anak) terhadap kebudayaan yang dianut masih sangat kental. Jadi, anak-anak tidak hanya sekadar bermain, tetapi mereka juga belajar menghargai adat istiadat dan budaya yang mereka anut. Bahkan mereka turut melestarikan dan menjaga tradisi budaya peninggalan sejarah nenek moyang mereka. Bali, sebuah pulau di Indonesia yang sangat tersohor sampai ke mancanegara, yang kita kenal sebagai surga dunia, toh masih memegang erat budayanya. Kita akan menjumpai banyak anak Bali yang belajar tari, bahkan sudah mahir. Tetapi, mereka tetap bisa bermain-main layaknya anak-anak di desa lain.
Sementara, dalam masyarakat modern, permainan tradisional sudah jarang sekali dilakukan, bahkan hampir punah. Sangat disayangkan. Padahal, permainan tradisional sangat bermanfaat bagi perkembangan psikologi anak. Mengapa demikian? Tentunya kita mafhum, bahwasanya masa kanak-kanak adalah masa bermain. Masa berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Dalam dunia mereka, bermain adalah sesuatu yang wah. Sesuatu yang tak ternilai harganya. Ibarat sebuah surga dunia yang sulit diperoleh kembali, bahkan tidak bisa tergantikan oleh apa pun, sekalipun kemewahan.
Sekarang, media elektronik, seperti televisi nampaknya menjadi magnet tersendiri. Televisi memang banyak memberikan kita informasi. Informasi mengenai suatu kejadian atau peristiwa yang up to date dari daerah atau mancanegara akan bisa didapatkan tanpa harus mengunjungi daerah atau negara tersebut. Sungguh luar biasa. Setelah televisi, sekarang muncul internet. Sama halnya dengan televisi, internet pun menyuguhkan berbagai pengetahuan dan informasi yang sangat menarik. Televisi maupun Internet juga cocok digunakan sebagai media pembelajaran bagi anak. Tetapi, kedua media elektronik tersebut bisa berbuah malapetaka apabila disalahgunakan.
Di antara sekian banyak program televisi, sangat sedikit sekali yang bermanfaat untuk perkembangan jiwa anak. Ya, lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali. Acara Si Bolang (bocah petualang) dan Surat Sahabat merupakan dua di antaranya. Si Bolang, salah satu program yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta, merupakan program yang diminati anak. Acara tersebut mengajak kita berpetualang mengelilingi Indonesia. Ya, acara tersebut menyuguhkan informasi mengenai budaya masyarakat tempat Si Bolang menetap. Yang menarik dari program acara tersebut adalah kegiatan Si Bolang itu sendiri. Mulai dari sekolah, bagi mereka yang mempu, bermain-main, berenang di kali, mencari ikan, menari, berkebun, beternak, bekerjasama, memanjat pohon, unjuk kebolehan, dan masih banyak lagi. Benar-benar contoh suatu masyarakat marginal. Tidak hanya bermain, anak-anak yang menonton acara tersebut bisa juga belajar banyak hal dari Si Bolang. Seperti halnya Si Bolang, Surat Sahabat pun menyuguhkan acara yang serupa. Bahkan, program ini lebih dulu moncer. Kegiatan para sahabat cilik kita sehari-hari menjadi suguhan utama acara ini. Di akhir acara, salah satu sahabat menuliskan sebuah surat yang isinya menceritakan permainan dan pengalaman seru yang mereka lakukan. Kemudian, mereka mengajak para pemirsa di rumah untuk berkunjung ke daerah mereka. “Sahabat, sekian dulu pengalaman yang bisa kami ceritakan. Jangan lupa berkunjung ke daerah kami ya! Sampai jumpa...”. Demikian penggalan ucapan si dubber cilik sebelum mengakhiri acara.
Pesan yang dapat saya sampaikan, sebagai orang tua maupun kakak yang baik, sebaiknya jangan mengekang kebebasan anak dalam bermain. Anak bukan boneka yang bisa kita permainkan begitu saja, bukan juga kertas yang dengan seenaknya bisa kita coret-coret. Tugas kita sebagai orang tua dan kakak adalah terus mengeksplorasi segala kemampuan yang dimilikinya, jangan malah mengeksploitasi! Semoga...
0 komentar:
Posting Komentar