Pages

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 25 April 2008

Dongeng di Antara Kepungan Teknologi




oleh Ahmad Shofi

Hrr...fiuw....hrr...fiuw, kurang lebih begitulah suara anak kecil ketika ia sedang tertidur pulas. Menjadi anak kecil tempo dulu memang menyenangkan. Mengapa? Setiap kali menjelang tidur, mereka selalu didongengi oleh bapak-ibu, atau kakek-nenek mereka. Terkadang mereka tidak puas bila hanya mendengar satu dongeng saja. Mereka ingin didongengi lebih banyak lagi. Di sela-sela atau setelah selesai mendongeng, kadang pendengar ada yang bertanya tentang dongeng yang disampaikan atau hubungannya dengan realita kehidupan. Dengan sabar, si pendongeng mendengarkan, kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan arif. Ada juga yang sudah tertidur pulas walaupun hanya mendengar satu dongeng saja.

Hampir setiap malam kegiatan tersebut dilakukan. Fasilitasnya pun sangat sederhana. Hanya sebuah tikar yang cukup lega. Kegiatan mendengarkan dongeng biasanya dilakukan di ruang keluarga, terkadang di teras depan rumah sambil melihat bintang yang bersinar terang. Dengan antusias, anak-anak mengikuti setiap kisah yang disampaikan.

Begitulah nilai-nilai kehidupan yang dibungkus dalam dongeng. Dongeng bisa masuk dengan lembut dan tertanam kuat dalam sanubari pendengarnya. Selain itu, kegiatan mendongeng dapat membuat anak tumbuh keberaniannya serta mampu berkomunikasi dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat tatkala anak berada di sekolah. Salah satu anak yang malamnya mendengarkan dongeng tidak jarang menceritakan dongeng itu kembali kepada teman-temannya.


Ada wacana yang berhembus di masyarakat bahwasanya dongeng sering diidentikkan sebagai suatu cerita yang menada-ada, bohong, bualan, khayalan, dan tidak ada manfaatnya. Bahkan, ada yang menganggap dongeng sebagai cerita yang tida masuk akal. Benar, dongeng adalah cerita rekaan, tetapi tidak berarti dongeng itu tidak bermanfaat.

Menurut Andi (2007:19), dalam proses perkembangannya, dongeng senantiasa mengaktifkan tidak hanya aspek-aspek intelektual; tetapi juga aspek kepekaan, kehalusan budi, emosi, seni, fantasi, dan imajinasi; tidak hanya mengutamakan otak kiri, tapi juga otak kanan.

Cerita atau dongeng menawarkan kesempatan menginterpretasi dengan mengenali kehidupan di luar pengalaman langsung mereka. Anak-anak dikenalkan pada berbagai cara, pola, dan pendekatan tingkah laku manusia sehingga mereka mendapat bekal menghadapi masa depan (Andi, 2007:20).

Andi (2007:23) menambahkan, dongeng ternyata merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan aspek-aspek kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan), sosial, dan aspek konatif (penghayatan) anak-anak. Selain itu, dongeng pun dapat membawa anak pada pengalaman-pengalaman baru yang belum pernah dialaminya.


Sekarang, masih adakah orang tua yang mendongengi anaknya sebelum tidur? Wees Ibnoe Savy (dalam tulisannya di sebuah Jurnal Budaya Surabaya) menyatakan, peran tersebut nampaknya sudah diambil media elektronik bernama televisi. “Jangan kaget kalau anak-anak remaja saat ini tak lagi dapat berimajinasi dan cenderung menjadi paranoid. Masyarakat sekarang nampaknya dalam kondisi terkepung realita kehidupan yang kian sarat dengan kecemasan, keresahan, dan kesenjangan,” tandasnya.

Menurut Wees, mendongeng adalah kebebasan sesaat untuk mencari dan menemukan impian-impiannya sendiri, berbeda dengan realitas yang menjajah dan membatasi. Kebebasan berimajinasi dan berekspresi masih sangat dibutuhkan, apalagi bagi anak-anak serta remaja. Kehadiran dongeng diharapkan dapat menyejukkan jiwa dan pikiran kita, terutama bagi anak-anak.

Media elektronik seperti televisi memang menawarkan sajian dongeng. Tetapi, dongeng yang disajikan justru di luar batas kewajaran. Kalau kita telaah, misalnya dongeng Bawang Merah Bawang Putih yang ditawarkan stasiun swasta beberapa tahun lalu. Saya mulanya senang karena ada stasiun swasta yang masih peduli terhadap dongeng. Tetapi, kesenangan itu berubah menjadi kebencian yang sangat luar biasa. Peran Bawang Merah memang jahat. Tetapi dalam skenario, banyak sekali kejadian yang tidak masuk akal dan dibuat-buat, yang justru berbeda 180° dengan cerita yang sebenarnya. Tidak ada sisi positifnya sama sekali. Semuanya terkesan negatif. Hal itu bisa dilihat dari pakaian yang minim, dandanan yang tidak sopan, maupun sifat yang cenderung di luar batas. Dunia dongeng yang sesungguhnya kian hilang dan diganti dongeng-dongeng buatan para pemilik modal serta industri kapitalis dan hedonis.

Generasi muda kita sebenarnya kaya potensi imajinasi dan kreativitas. Namun, realita kehidupan telah dibentuk oleh promosi dongeng-dongeng industri yang memperdayakan penikmatnya, yang hanya mementingkan pasar dengan rencana rapi secara serentak dan intens menyerang generasi muda. Akibatnya, mayoritas anak dan remaja kehilangan ruang dan kesempatan untuk mengungkapkan serta mengembangkan kreativitasnya sendiri. Mereka semakin tergiring, terpojok, dalam dunia realitas yang kejam dan getir.

Wees Ibnoe Savy menyatakan dongeng-dongeng produksi industri kapitalis juga merangsang dan membujuk mereka agar meningggalkan kesempatan mengembangkan serta mewujudkan impian ciptaan mereka sendiri. ”Satu sisi mereka harus mewarisi impian para pendiri negara ini, di sisi lain mereka dihadapkan pada impian-impian promotif yang siap pakai. Bahkan, saat ini sebagian orang tua ikut mendorong agar anak-anaknya terjun ke arus dunia yang siap pakai, meski harus mengkhianati nilai luhur. Memperjuangkan terwujudnya ’mimpi’ sendiri yang sarat nilai-nilai ideal memang berat. Masih mungkinkah anak-anak mewujudkan ’mimpi’ murni berangkat dari imajinasi serta gagasan sendiri?”

Daftar Rujukan
Ibnoe Savy, Wees. 2007. ”Dongeng yang Memberdayakan”. Jurnal Budaya Surabaya, tahun II No. 07 Juni, hal. H.
Yudha, Andi. 2007. Cara Pintar Mendongeng. Bandung: Mizan Media Utama.

0 komentar: