Pages

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 28 April 2008

Televisiku, partner belajarku

oleh Ahmad Shofi

Siapa yang yang tidak kenal televisi? Semua orang pasti mengenalnya. Padahal, televisi bukan makanan, minuman, ataupun jajanan ringan. Artinya, televisi bukanlah kebutuhan primer. Mulai kecil, kita sudah terbuai dengan makhluk ini. Budaya baca-tulis pun kini berubah haluan menjadi budaya melihat. Televisi benar-benar telah menjadi teladan bahkan trend baru bagi semua orang, termasuk anak-anak. Orang tua yang seharusnya membimbing anak-anaknya belajar, seakan terperangkap oleh jeratan sinetron. Semuanya hilang kendali. Apa yang sebenarnya terjadi?

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan televisi. Televisi telah memberikan manfaat luar biasa terhadap perkembangan peradaban umat manusia. Namun, pelaku pertelevisian terkadang ngawur dalam menempatkan acaranya. Orang-orang yang ada di balik layar seakan lepas tangan apabila ada sesuatu yang merugikan pemirsanya. Membludaknya tayangan yang tidak mendidik semakin banyak beredar. Mulai dari pengenalan seks yang salah kaprah, gosip selebritis yang tidak penting, sinetron-sinetron cengeng, berita kriminalitas yang berlebihan, reality show dan masih banyak lagi. Kulitas tayangan televisi yang memberdayakan anak pun sangat sedikit sekali. Hampir semua tayangannya memberikan dampak yang negatif.

Kita semuanya menyadari, hampir semua sinetron Indonesia memiliki kualitas rendah. Mereka semua tidak mengedepankan sisi moralitas. Sinetron Indonesia justru menjadikan anak-anak dan remaja menjadi cengeng, pemalas, pemberontak, utopis, dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan serta nilai-nilai moral. Yang sangat disayangkan adalah sedikitnya tayangan yang bermanfaat.

Saya sebenarnya cukup geli bahkan sedikit tergelitik dengan orang-orang yang ada di balik layar televisi. Mereka sebenarnya tau tayangan apa yang dibutuhkan bangsa Indonesia sekarang ini. Tetapi, keuntungan material yang melimpah ruah seakan telah membutakan mata. Mereka seakan emoh dan gak mau tau dengan masyarakat. Pedomannya adalah ’asal gue untung’. Padahal, Kalangan remaja (pelajar) ­­­­­­­­­yang nantinya akan meneruskan perjuangan bangsa ini ke arah yang lebih baik sangat merindukan tayangan yang menyuguhkan dunia pendidikan. Namun, tayangan tersebut merupakan mimpi yang hanya bisa terbang di awang-awang. Sangat sedikit untuk tidak mengatakan tiada sama sekali televisi yang menayangkannya. Tetapi, setelah sekian lama menanti, akhirnya pelajar bisa sedikit tersenyum lega. Karena, keinginan mereka untuk menikmati tayangan yang memang pas dengan dunia mereka sudah terwujud. Yap, stasiun televisi milik pemerintah di bawah payung Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menayangkan program khusus mengenai dunia pendidikan lewat teve education. Sayangnya, program tersebut kurang berjalan maksimal.

Padahal, teve education benar-benar menjadi obat dahaga bagi pelajar masa kini. Berbagai macam pengetahuan, informasi, pengalaman yang berharga bisa mereka dapatkan. Mereka yang merasa kesulitan dalam mengerjakan soal seperti matematika, fisika, kimia, bahasa, dan lain-lain akan mendapatkan masukan setelah menonton channel ini. Seabrek trik-trik jitu mengerjakan soal, beragam sumber belajar, berbagai metode, dan media yang efektif tersaji lengkap. Tidak hanya bermanfaat untuk siswa, kalangan guru pun merasa bersyukur dengan adanya program ini.

Sekolah bukanlah satu-satunya sumber belajar. Oleh karena itu, banyak siswa yang mengikuti bimbingan setelah menyelesaikan sekolah formalnya. Bagi kalangan menengah ke atas, tidak sulit untuk mencari Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) yang bonafide. Biaya seakan menjadi prioritas yang kedua. Tetapi, kita juga harus membayangkan saudara-saudara kalangan menengah ke bawah. Mereka adalah masyarakat marginal yang butuh perhatian. Mereka tentu tidak sanggup untuk membayar beban tersebut. Di sinilah media televisi semestinya berperan. Televisi bahkan bisa menjadi partner bagi sekolah untuk memajukan dunia pendidikan. Saya yakin banyak sekali program yang bisa dieksplor apabila para pemeran di balik layar televisi mempunyai niatan dan itikad yang baik.

Janganlah merusak bangsa ini dengan tontonan-tontonan yang justru membodohi mereka. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Tapi, sayangnya Indonesia masih kalah dengan negara-negara Asia yang lainnya dalam masalah pendidikan. Kita sudah tertinggal jauh dengan Jepang, China, Korea, bahkan tetangga sendiri yakni Malaysia. Sekarang inilah saatnya Indonesia berbenah. Saya yakin lewat tayangan-tayangan yang mendidik, yang memprioritaskan pendidikan di atas segala-galanya akan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan disegani. Budaya baca-tulis akan lahir kembali.

Masyarakat, terutama orang tua pun sangat diharapkan partisipasinya. Di zaman modern seperti sekarang ini, gaptek (gagap teknologi) adalah suatu kesalahan yang fatal bahkan bisa dikatakan penyakit yang kronis. Tetapi, jangan sampai terlalu memanjakannya. Media informasi seperti internet, handphone, dan televisi akan memberikan dampak yang positif jika kita tidak salah kaprah.

Sekarang sudah banyak perpustakaan daerah. Bahkan, mulai muncul perpustakaan pribadi. Hal ini harus dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin. Mulai dari sekarang kita harus menghindari hal-hal yang berbau hura-hura. Hindari tayangan televisi yang tidak penting. Hentikanlah budaya SMS yang justru merusak suasana belajar. Jadilah masyarakat Indonesia yang hobi baca-tulis. Majulah pendidikan Indonesia, jiwa ragaku hanya untukmu.

If you want, you can do it!

Cinta alam, sebuah alternatif pendidikan yang menyenangkan

oleh Ahmad Shofi

Tuhan menciptakan alam semesta ini tentu ada maksud dan tujuannya. Semua yang ada di alam semesta ini tentu juga ada guna dan manfaatnya. Langit, matahari, planet, bintang, bulan, malaikat, surga, neraka, dan lain-lain adalah ciptaan Tuhan yang patut disyukuri. Kita sebagai manusia yang berakal wajib percaya akan hal itu.

Sejarah penciptaan manusia sudah ada sejak dulu. Mengapa manusia harus tinggal di bumi? Rasanya, pertanyaan itu pun sudah terjawab. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mencintai, melestarikan, merawat, dan menjaga bumi tercinta ini.

Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna di antara makhluk Tuhan yang lain. Manusia tidak hanya memiliki hati nurani, tetapi ada keistimewaan lain yang Tuhan berikan. Keistemawaan tersebut berupa akal pikiran.

Meskipun menjadi makhluk yang sempurna, manusia ternyata tidak bisa hidup sendiri. Dia pasti bergantung pada makhluk lain. Oleh karena itulah, Tuhan menciptakan hewan dan tumbuhan sebagai teman hidup manusia.

Manusia terlahir sebagai makhluk yang cengeng. Makhluk yang tidak bisa berbuat apa-apa. Begitu lahir, dia langsung menangis. Kata orang tua dulu sih, bayi itu menangis karena dia menyesal terlahir di dunia. Dia lebih senang tinggal di dalam kandungan ibu (alam rahim). Sebuah alam yang sunyi. Alam yang aman, nyaman, dan terlindungi.

Setelah lahir pun, manusia tetap menyusahkan. Dia masih butuh ASI (air susu ibu). Setelah cukup dewasa, manusia mulai berinteraksi dengan lingkungannya. Di sinilah kepribadian manusia sebagai makhluk sosial mulai nampak. Tidak hanya kepada sesama manusia dia berinteraksi, tetapi dia selalu membutuhkan hewan dan tumbuhan sebagai kawan hidupnya. Bayangkan, jika manusia hidup tanpa hewan dan tumbuhan. Apakah manusia bisa hidup? Rasanya, tidak mungkin. Manusia selalu membutuhkan keduanya.

Ilustrasi di atas hanyalah sebuah pengantar
Mengapa saya membuat ilustrasi itu? Karena saya ingin sekali manusia menyayangi hewan dan tumbuhan, sama seperti mereka menyayangi dirinya sendiri. Manusia harus merasa terlindungi oleh keduanya, sehingga tidak ada sedikit pun kesempatan manusia untuk menyakiti dan merusaknya.

Pengenalan manusia dengan alam sekitar harus dimulai sejak dini. Sebagaimana halnya manusia dewasa, anak pun membutuhkan informasi tentang dunia, tentang segala sesuatu yang ada dan terjadi di sekelilingnya yang dapat dijangkau pikirannya. Pemenuhan hak-hak anak adalah tugas orang dewasa. Hal itu merupakan bentuk apresiasi terhadap anak. Pemenuhan kebutuhan anak akan informasi tersebut dapat dilakukan dan diberikan, antara lain lewat pengenalan terhadap alam sekitar.

Keakraban dengan alam bebas pada masa anak-anak akan memberikan pengalaman yang berharga dalam memahami alam bebas itu sendiri. Masa kecil yang penuh dengan aneka warna kegiatan bermain selalu menyisakan kenangan indah yang berdampak pada jiwa ketika beranjak dewasa.

Ihsan (2005:5) mengatakan, berpetualang atau mengembara di alam terbuka adalah salah satu kegiatan untuk mengembangkan kualitas pribadi yang sukar dicari padanannya dan menjadi alternative education yang sangat penting serta dibutuhkan oleh bangsa ini. Dia menambahkan, pribadi yang tangguh ulet, berani, jujur, rendah hati, serta peka terhadap alam dan lingkungan itulah yang harus terbentuk melalui kegiatan adventure atau petualangan di alam terbuka ini.

Sikap dan perilaku tadi akan tumbuh kuat dalam diri kita, jika kegiatan petualangan di alam terbuka tersebut didasari oleh niat dan itikad yang secara sadar ditumbuhkan untuk itu.

Berpetualang di alam bebas tidak hanya menumbuhkan rasa cinta dan sayang kita terhadap alam sekitar, tetapi ada makna yang lebih mendalam dari itu semua. Apakah itu? Ketika anak sedang berpetualang atau berkemah di suatu tempat yang sama sekali belum ia kenal, dengan medan yang sedikit menegangkan, secara tidak langsung perasaan takut dan ngeri akan menghinggapinya. Tetapi lama kelamaan anak akan terbiasa akan hal itu. Jika perasaan takutnya sudah mulai reda, biasanya ia akan mencoba untuk berinteraksi langsung dengan orang lain. Anak akan bertanya ini dan itu kepada teman sebayanya. Kalaupun belum puas, dia akan bertanya kepada kakak, guru, bahkan kepada orang lain yang sebetulnya belum ia kenal. Di situlah keberanian anak mulai muncul dan berkembang.

Anak akan sering berinteraksi dengan orang lain. Rasa simpati, saling menghargai, tolong-menolong, bahkan sifat empati dengan orang lain akan muncul. Ia pun akan mudah menebak atau mengetahui perasaan orang lain tersebut.

Irawati (2007:97) menyatakan bahwa menebak emosi orang lain sebetulnya merupakan sebuah bentuk empati. Dengan kemampuan membaca perasaan orang ini, kemampuan untuk mengambil keputusan dengan bijak akan maksimal. Mengenal emosi yang dimiliki orang lain diperlukan sebagai dasar dalam membina hubungan. Semakin banyak ragam emosi yang dikenal anak, semakin mudah pula mereka untuk mengenal orang lain.

Menurut Ihsan (2005:6), seorang pecinta dan pemerhati lingkungan hidup, mengatakan bahwa permainan di alam merupakan sesuatu yang langka kita temui di dunia bermain anak-anak masa kini. Kesadaran akan hal tersebut nampaknya perlu untuk diangkat kembali. Selain dapat menjadi media untuk membina jasmani, alam juga dapat membina jiwa kepemimpinan dan membimbing kita untuk selalu bersyukur atas karunia dan nikmat yang diberikan oleh Tuhan kepada kita semua.

Tuhan telah memberi amanat kepada kita untuk menjaga, melestarikan, dan merawat ekosistem yang ada di bumi. Anugerah tersebut sungguh tak ternilai harganya. Kita sebagai pewaris peradaban harus mampu menjaga amanat tersebut dengan baik. Semoga kita, anak zaman sekarang, tidak hanya tertarik dengan piranti teknologi yang semakin canggih saja, melainkan juga peduli terhadap alam ini.

Daftar Rujukan
Ihsan, Muhammad. 2005. Buku Panduan Petualangan Alam. Bandung: Mizan Media Utama.
Istadi, Irawati. 2007. Melipatgandakan Kecerdasan Emosi Anak. Bekasi: Pustaka Inti.

Minggu, 27 April 2008

Analisis terhadap novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata

Potret Pendidikan Kaum Marginal di Indonesia: Sebuah Pembelajaran Hidup
Analisis terhadap novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata

Oleh: Ahmad Shofi

“Mengapa disebut Laskar Pelangi,” tanya Kick Andy.
“Ketika itu saya belum sadar maksud yang tersembunyi dari panggilan itu. Sebenarnya beliau (bu Mus) mengobarkan julukan Laskar Pelangi kepada kami, karena kata laskar sendiri adalah pejuang,” jawab Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi.
(Program acara Kick Andy di Metro TV, Kamis 4 Oktober 2007 pukul 22.05 WIB)

Ini kisah nyata tentang sepuluh anak kampung di Pulau Belitong, Sumatera. Mereka bersekolah di sebuah SD yang bangunannya nyaris rubuh dan kalau malam jadi kandang ternak. Sekolah itu nyaris ditutup karena muridnya tidak sampai sepuluh sebagai persyaratan minimal.

Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di Belitong ini harus ditutup (halaman 4).

Keberuntungan atau lebih tepatnya takdir, rupanya masih berpihak pada sepuluh anak kampung Pulau Belitong ini. Sebelum sekolah ini ditutup, ada salah satu siswa yang bernama Harun mendaftarkan diri. Akhirnya, sekolah ini tetap eksis dan bisa terus melanjutkan pendidikannya untuk anak-anak Belitong.
Sungguh permasalahan pelik, di saat manusia membutuhkan pendidikan, banyak rintangan menghampiri. Pendidikan menjadi barang mewah yang harus diperjuangkan. Mau belajar saja harus mengantri terlebih dahulu. Siapa yang patut dipersalahkan dalam hal ini? Sekolah, pemerintah, ataukah sistem birokrasinya?

Berjuang “Belajar” dengan Segala Keterbatasan
Andrea Hirata dengan sangat cerdas mengangkat kisah nyata ini kedalam sebuah novel. Di buku tersebut Andrea mengangkat cerita bagaimana semangat anak-anak kampung miskin itu berjuang dengan gigihnya agar dapat belajar walaupun dalam keadaan yang serba terbatas. Mereka bersekolah tanpa alas kaki, baju tanpa kancing, atap sekolah yang bocor jika hujan, dan papan tulis yang berlubang hingga terpaksa ditambal dengan poster Rhoma Irama.
Andrea dan sembilan siswa SD Muhammmadiyah di Belitung hanyalah sebagian kecil dari sekian
banyak masyarakat Indonesia yang tersubordinasi, yang tertindas, dan terbelenggu dalam masyarakat marginal.

Sebagian besar masyarakat Indonesia memang masih hidup dalam keadaan marginal alias di bawah garis kemiskinan. Sungguh ironis, padahal wilayah Indonesia sendiri begitu luas. Kekayaan alamnya sangat melimpah. Tetapi, yang kita jumpai justru berlawanan. Ketimpangan strata sosial yang terjadi dalam masyarakat memperlihatkan kepada kita bahwasannya masih banyak sekali kemiskinan di negara tercinta ini. Mungkin juga ini terjadi karena masyarakat kita yang begitu heterogen. Indonesia sepertinya telah terjangkit virus kapitalisme. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terpuruk dengan kemiskinannya. Suasana kontras seperti langit dan bumi juga terjadi dalam novel ini, tepatnya di kampung Belitong. Mari kita amati bersama bagaimana Andrea menceritakan kampungnya.
Tak disangsikan, jika di zoom-out, kampung kami adalah kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam di sana, miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan miliaran dollar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der Rattenfanger von Hameln. Namun jika di zoom-in, kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi gedong (halaman 49).

Gedong adalah land mark Belitong. Ia lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap, menginterogasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” (halaman 43)

Ini merupakan salah satu bukti belum seiringnya peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kemakmuran. Penyebabnya adalah pertumbuhan ekonomi yang masih didominasi faktor modal sementara sumbangan produktivitas masyarakat masih rendah.
Termarginalisasinya sebuah daerah atau kelompok masyarakat merupakan salah satu faktor munculnya kemiskinan. Kemiskinan memiliki banyak dimensi, di antaranya kurangnya kebutuhan dasar, infrastruktur yang tidak memadai, buruknya kesehatan masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, serta income masyarakat yang rendah pula. Kebutuhan dasar rakyat belum terpenuhi secara optimal seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan (I Nyoman Mardika dalam tulisannya di sebuah situs di internet)

Sifat kesederhanaan atau yang lebih tepatnya kekurangan jelas sekali terlukis dari novel Laskar Pelangi ini. Sinkronitas antara kekayaan alam dengan masyarakat Belitong sendiri tidak terlihat. Orang-orang kaya didominasi oleh masyarakat gedong yang merupakan pemilik dan karyawan PN Timah. Sementara, masyarakat miskin Belitong semakin terkapar dengan keadannya.
**

Laskar Pelangi
Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang halus yang merekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu. Kami seperti anak-anak bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus. Sekali lagi kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum, Trapani yang rupawan, Syahdan yang liliput, kucai yang sok gengsi, sahara yang ketus, A Kiong yang polos, Samson yang duduk seperti patung Ganesha. Pria kesembilan dan kesepuluh adalah Lintang dan Mahar (halaman 85 dan 86).

Begitu banyak hal menakjubkan yang terjadi dalam masa kecil para anggota Laskar Pelangi. Sebelas orang anak Melayu Belitong yang luar biasa ini tak menyerah walau keadaan tak pernah bersahabat pada mereka. Lihatlah Lintang, anak Tanjong keriting yang genius. Setiap hari Lintang harus mengayuh sepeda tua yang sering putus rantainya ke sekolah. Pulang pergi sejauh 80 km pun dilakukannya demi memuaskan dahaganya akan ilmu, bahkan harus melewati sungai yang banyak buayanya sekalipun.

Lintang memiliki hampir semua dimensi kecerdasan. Dia seperti toko serba ada kepandaian. Dia adalah guru bagi teman-temannya. Lintang pernah mengharumkan nama perguruan Muhammadiyah ke arah level tertinggi. Dia membawa pulang trofi besar kemenangan dalam sebuah lomba kecerdasan. Sekolah kampung pertama yang menjuarai perlombaan ini dan dengan sebuah kemenangan mutlak.

Aku terpaku memandang Lintang, betapa aku menyayangi dan kagum setengah mati pada sahabatku ini. Dialah idolaku. Pikiranku melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika sang bunga pilea ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsut-ingsut naik sepeda besar 80 kilometer setiap hari untuk sekolah, ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri. Dan hari itu ia meraja di sini, di majelis kecerdasan yang amat terhormat ini (halaman 383).

Di samping Lintang, ada Mahar. Seorang pesuruh tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan. Bakat seni Mahar pertama kali muncul ketika ia menyanyikan sebuah lagu Tennesse Waltz yang sangat terkenal karya Anne Muray. Mahar memiliki kapasitas estetika yang tinggi dan melahirkannya sebagai seniman yang serba bisa. Ia seorang pelantun gurindam, sutradara teater, penulis yang berbakat, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang ulung, dan pemain sitar yang fenomenal. Walaupun terkadang gagasan dan pikirannya tidak logis, dan sering diremehkan sahabat-sahabatnya, namun Mahar berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka dalam karnaval 17 Agustus.

Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas, atau laksana Thomas Alva Edison muda dan Rabindranath Tagore junior yang berkumpul. Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas dalam bidangnya masing-masing. Tanpa mereka, kelas kami tak lebih dari sekumpulan kuli tambang melarat yang mencoba belajar tulis rangkai indah di atas kertas bergaris tiga (halaman 140).
**

Setiap anak pasti mempunyai cita-cita, begitu pula para anggota Laskar Pelangi. Salah satu anggota Laskar Pelangi, Lintang bercita-cita ingin bersekolah ke luar negeri. seperti yang sering didorong oleh guru mereka. Sayang, cita-cita Lintang terpaksa kandas. Lintang bahkan tak tamat SMP karena orangtuanya yang nelayan meninggal tepat ketika usia sekolah Lintang tinggal empat bulan lagi. Sungguh ironi. Seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulau terkaya di Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya.
Ibunda guru,
Ayahku telah meninggal, besok aku akan sekolah.
Salamku, Lintang.
Sepucuk surat dari Lintang (halaman 430).

Ini kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini aku kehilangan teman sebangku selama sembilan tahun. Ini tidak adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup (halaman 432-433)
Ditengah berbagai berita dan hiburan televisi tentang sekolah yang tak cukup memberi inspirasi dan spirit, Laskar Pelangi memberikan realita kesejukan tentang sekolah yang hakiki.
Sekolah dan universitas ternyata “sukses” mencetak manusia-manusia yang menjadi tua (growing older). Akan tetapi tidak pernah sungguh-sungguh menjadi dewasa (growing up). Singkatnya, kebanyakan manusia dewasa, dan terutama bekas anak sekolahan (termasuk sarjana dengan “S” berapa pun), hanya besar secara fisik, tetapi secara social, mental, dan spiritual mereka “kerdil” (Harefa, 2001:46-47).

Laskar Pelangi menolak semua anggapan itu. Buktinya, mereka sangat mencintai dunia mereka. Dunia yang menurut mereka memberi makna yang mendalam bagi keberlangsungan hidup di kemudian hari. Walaupun dengan segala keterbatasan, mereka tetap semangat dan tetap tegar menghadapi segala permasalahan. Dengan kebersamaan, mereka seakan lupa dengan keadaan keterpurukan yang menghimpit mereka selama ini.
**

Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena. Lintang, si genius, Isaac Newtonnya Sekolah Muhammadiyah yang dulu dielu-elukan karena kecerdasannya yang luar biasa, sekarang tak lebih hanya sebagai seorang sopir tronton.
Selain Lintang, ada Trapani yang semenjak kecil selalu tidak bisa berpisah dengan ibunya, setelah dewasa ia menderita penyakit mother complex yang sangat ekstrem. Adapun A Kiong dan Sahara, mereka berdua akhirnya bersatu dalam sebuah keluarga dan sekarang mempunyai lima anak. A Kiong dan Sahara akhirnya membuka toko kelontong dan mempunyai pegawai yang bernama Samson.

Harun yang dulunya adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, sekarang ia adalah orang dewasa yang terperangkap dalam pikiran anak kecil. Mahar sendiri adalah seorang budayawan yang sibuk mengajar dan mengorganisasi kegiatan. Pekerjaan sampingannya adalah sebagai pelatih beruk.

Lain pula cerita Syahdan. Ia yang dulu sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi, tidak bias diandalkan untuk hal-hal berbau teknik, setelah dewasa justru menduduki posisi sebagai Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor pusat di Tangerang.

Sedangkan sang penulis, Andrea sendiri adalah orang yang bertekad meneruskan cita-cita Lintang, yakni berkuliah di luar negeri, setelah sekian puluh tahun akhirnya berhasil mendapat beasiswa sekolah ke Sorbonne, Prancis. Sekarang ia bekerja sebagai analis di kantor pusat PT Telkom Bandung. Laskar Pelangi adalah novel pertamanya.

Acuan Pustaka
Harefa, Andreas. 2001. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas Media Nusantara Hirata, Andrea. 2006. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Kick Andy. Metro TV, Kamis 4 Oktober 2007 pukul 22.05 WIB

Jumat, 25 April 2008

Dunia Anak, Dunia Bermain


oleh Ahmad Shofi

Bermain petak-­umpet waktu kanak-kanak sungguh menyenangkan. Kita bisa berlarian ke sana-ke mari, bisa bersembunyi di tempat yang sepi (jarang diketahui orang), bisa bercanda gurau. Bahkan, tidak jarang sampai berkelahi. Ada juga permainan lain, seperti bentengan. Selain asyik, permainan ini selalu mengajarkan kita untuk bekerjasama. Setiap tim diwajibkan untuk menjaga benteng pertahanannya dari kepungan lawan. Kita juga mengenal permainan karet-gelang, bekel, dan dakon. Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak perempuan. Tetapi, tidak jarang pula anak laki-laki ikutan ”nimbrung”. Yang tidak kalah seru adalah permainan gundu (kelereng), gangsing, dan enggrang. Ketiga permainan ini biasanya dimainkan oleh anak laki-laki. Permainan ini tidak hanya mengandalkan kemahiran dan kejelian, tetapi ada juga unsur sportivitas di dalamnya. Sebagian permainan di atas tentu sudah pernah kita lakukan sewaktu kanak-kanak. Sekarang, sulit rasanya menemukan anak-anak yang sedang bermain. Permainan tradisional mereka sudah tergerus virus modernisasi. Film bioskop, game, internet, komik, dan televisi telah menggantikan posisi permainan tradisional. Positifkah?? Bergantung.

Dalam masyarakat marginal, permainan tradisional tersebut mungkin masih bisa ditemui. Anak-anak desa yang tinggal di bantaran sungai, di kampung kumuh, di daerah yang masih memiliki banyak sawah dan kebun, di pegunungan dan perbukitan yang asri dan hijau mungkin masih bisa bermain dengan leluasa. Di samping itu ikatan emosional antara mereka (anak-anak) terhadap kebudayaan yang dianut masih sangat kental. Jadi, anak-anak tidak hanya sekadar bermain, tetapi mereka juga belajar menghargai adat istiadat dan budaya yang mereka anut. Bahkan mereka turut melestarikan dan menjaga tradisi budaya peninggalan sejarah nenek moyang mereka. Bali, sebuah pulau di Indonesia yang sangat tersohor sampai ke mancanegara, yang kita kenal sebagai surga dunia, toh masih memegang erat budayanya. Kita akan menjumpai banyak anak Bali yang belajar tari, bahkan sudah mahir. Tetapi, mereka tetap bisa bermain-main layaknya anak-anak di desa lain.

Sementara, dalam masyarakat modern, permainan tradisional sudah jarang sekali dilakukan, bahkan hampir punah. Sangat disayangkan. Padahal, permainan tradisional sangat bermanfaat bagi perkembangan psikologi anak. Mengapa demikian? Tentunya kita mafhum, bahwasanya masa kanak-kanak adalah masa bermain. Masa berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Dalam dunia mereka, bermain adalah sesuatu yang wah. Sesuatu yang tak ternilai harganya. Ibarat sebuah surga dunia yang sulit diperoleh kembali, bahkan tidak bisa tergantikan oleh apa pun, sekalipun kemewahan.

Sekarang, media elektronik, seperti televisi nampaknya menjadi magnet tersendiri. Televisi memang banyak memberikan kita informasi. Informasi mengenai suatu kejadian atau peristiwa yang up to date dari daerah atau mancanegara akan bisa didapatkan tanpa harus mengunjungi daerah atau negara tersebut. Sungguh luar biasa. Setelah televisi, sekarang muncul internet. Sama halnya dengan televisi, internet pun menyuguhkan berbagai pengetahuan dan informasi yang sangat menarik. Televisi maupun Internet juga cocok digunakan sebagai media pembelajaran bagi anak. Tetapi, kedua media elektronik tersebut bisa berbuah malapetaka apabila disalahgunakan.

Di antara sekian banyak program televisi, sangat sedikit sekali yang bermanfaat untuk perkembangan jiwa anak. Ya, lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali. Acara Si Bolang (bocah petualang) dan Surat Sahabat merupakan dua di antaranya. Si Bolang, salah satu program yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta, merupakan program yang diminati anak. Acara tersebut mengajak kita berpetualang mengelilingi Indonesia. Ya, acara tersebut menyuguhkan informasi mengenai budaya masyarakat tempat Si Bolang menetap. Yang menarik dari program acara tersebut adalah kegiatan Si Bolang itu sendiri. Mulai dari sekolah, bagi mereka yang mempu, bermain-main, berenang di kali, mencari ikan, menari, berkebun, beternak, bekerjasama, memanjat pohon, unjuk kebolehan, dan masih banyak lagi. Benar-benar contoh suatu masyarakat marginal. Tidak hanya bermain, anak-anak yang menonton acara tersebut bisa juga belajar banyak hal dari Si Bolang. Seperti halnya Si Bolang, Surat Sahabat pun menyuguhkan acara yang serupa. Bahkan, program ini lebih dulu moncer. Kegiatan para sahabat cilik kita sehari-hari menjadi suguhan utama acara ini. Di akhir acara, salah satu sahabat menuliskan sebuah surat yang isinya menceritakan permainan dan pengalaman seru yang mereka lakukan. Kemudian, mereka mengajak para pemirsa di rumah untuk berkunjung ke daerah mereka. “Sahabat, sekian dulu pengalaman yang bisa kami ceritakan. Jangan lupa berkunjung ke daerah kami ya! Sampai jumpa...”. Demikian penggalan ucapan si dubber cilik sebelum mengakhiri acara.

Pesan yang dapat saya sampaikan, sebagai orang tua maupun kakak yang baik, sebaiknya jangan mengekang kebebasan anak dalam bermain. Anak bukan boneka yang bisa kita permainkan begitu saja, bukan juga kertas yang dengan seenaknya bisa kita coret-coret. Tugas kita sebagai orang tua dan kakak adalah terus mengeksplorasi segala kemampuan yang dimilikinya, jangan malah mengeksploitasi! Semoga...

Dongeng di Antara Kepungan Teknologi




oleh Ahmad Shofi

Hrr...fiuw....hrr...fiuw, kurang lebih begitulah suara anak kecil ketika ia sedang tertidur pulas. Menjadi anak kecil tempo dulu memang menyenangkan. Mengapa? Setiap kali menjelang tidur, mereka selalu didongengi oleh bapak-ibu, atau kakek-nenek mereka. Terkadang mereka tidak puas bila hanya mendengar satu dongeng saja. Mereka ingin didongengi lebih banyak lagi. Di sela-sela atau setelah selesai mendongeng, kadang pendengar ada yang bertanya tentang dongeng yang disampaikan atau hubungannya dengan realita kehidupan. Dengan sabar, si pendongeng mendengarkan, kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan arif. Ada juga yang sudah tertidur pulas walaupun hanya mendengar satu dongeng saja.

Hampir setiap malam kegiatan tersebut dilakukan. Fasilitasnya pun sangat sederhana. Hanya sebuah tikar yang cukup lega. Kegiatan mendengarkan dongeng biasanya dilakukan di ruang keluarga, terkadang di teras depan rumah sambil melihat bintang yang bersinar terang. Dengan antusias, anak-anak mengikuti setiap kisah yang disampaikan.

Begitulah nilai-nilai kehidupan yang dibungkus dalam dongeng. Dongeng bisa masuk dengan lembut dan tertanam kuat dalam sanubari pendengarnya. Selain itu, kegiatan mendongeng dapat membuat anak tumbuh keberaniannya serta mampu berkomunikasi dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat tatkala anak berada di sekolah. Salah satu anak yang malamnya mendengarkan dongeng tidak jarang menceritakan dongeng itu kembali kepada teman-temannya.


Ada wacana yang berhembus di masyarakat bahwasanya dongeng sering diidentikkan sebagai suatu cerita yang menada-ada, bohong, bualan, khayalan, dan tidak ada manfaatnya. Bahkan, ada yang menganggap dongeng sebagai cerita yang tida masuk akal. Benar, dongeng adalah cerita rekaan, tetapi tidak berarti dongeng itu tidak bermanfaat.

Menurut Andi (2007:19), dalam proses perkembangannya, dongeng senantiasa mengaktifkan tidak hanya aspek-aspek intelektual; tetapi juga aspek kepekaan, kehalusan budi, emosi, seni, fantasi, dan imajinasi; tidak hanya mengutamakan otak kiri, tapi juga otak kanan.

Cerita atau dongeng menawarkan kesempatan menginterpretasi dengan mengenali kehidupan di luar pengalaman langsung mereka. Anak-anak dikenalkan pada berbagai cara, pola, dan pendekatan tingkah laku manusia sehingga mereka mendapat bekal menghadapi masa depan (Andi, 2007:20).

Andi (2007:23) menambahkan, dongeng ternyata merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan aspek-aspek kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan), sosial, dan aspek konatif (penghayatan) anak-anak. Selain itu, dongeng pun dapat membawa anak pada pengalaman-pengalaman baru yang belum pernah dialaminya.


Sekarang, masih adakah orang tua yang mendongengi anaknya sebelum tidur? Wees Ibnoe Savy (dalam tulisannya di sebuah Jurnal Budaya Surabaya) menyatakan, peran tersebut nampaknya sudah diambil media elektronik bernama televisi. “Jangan kaget kalau anak-anak remaja saat ini tak lagi dapat berimajinasi dan cenderung menjadi paranoid. Masyarakat sekarang nampaknya dalam kondisi terkepung realita kehidupan yang kian sarat dengan kecemasan, keresahan, dan kesenjangan,” tandasnya.

Menurut Wees, mendongeng adalah kebebasan sesaat untuk mencari dan menemukan impian-impiannya sendiri, berbeda dengan realitas yang menjajah dan membatasi. Kebebasan berimajinasi dan berekspresi masih sangat dibutuhkan, apalagi bagi anak-anak serta remaja. Kehadiran dongeng diharapkan dapat menyejukkan jiwa dan pikiran kita, terutama bagi anak-anak.

Media elektronik seperti televisi memang menawarkan sajian dongeng. Tetapi, dongeng yang disajikan justru di luar batas kewajaran. Kalau kita telaah, misalnya dongeng Bawang Merah Bawang Putih yang ditawarkan stasiun swasta beberapa tahun lalu. Saya mulanya senang karena ada stasiun swasta yang masih peduli terhadap dongeng. Tetapi, kesenangan itu berubah menjadi kebencian yang sangat luar biasa. Peran Bawang Merah memang jahat. Tetapi dalam skenario, banyak sekali kejadian yang tidak masuk akal dan dibuat-buat, yang justru berbeda 180° dengan cerita yang sebenarnya. Tidak ada sisi positifnya sama sekali. Semuanya terkesan negatif. Hal itu bisa dilihat dari pakaian yang minim, dandanan yang tidak sopan, maupun sifat yang cenderung di luar batas. Dunia dongeng yang sesungguhnya kian hilang dan diganti dongeng-dongeng buatan para pemilik modal serta industri kapitalis dan hedonis.

Generasi muda kita sebenarnya kaya potensi imajinasi dan kreativitas. Namun, realita kehidupan telah dibentuk oleh promosi dongeng-dongeng industri yang memperdayakan penikmatnya, yang hanya mementingkan pasar dengan rencana rapi secara serentak dan intens menyerang generasi muda. Akibatnya, mayoritas anak dan remaja kehilangan ruang dan kesempatan untuk mengungkapkan serta mengembangkan kreativitasnya sendiri. Mereka semakin tergiring, terpojok, dalam dunia realitas yang kejam dan getir.

Wees Ibnoe Savy menyatakan dongeng-dongeng produksi industri kapitalis juga merangsang dan membujuk mereka agar meningggalkan kesempatan mengembangkan serta mewujudkan impian ciptaan mereka sendiri. ”Satu sisi mereka harus mewarisi impian para pendiri negara ini, di sisi lain mereka dihadapkan pada impian-impian promotif yang siap pakai. Bahkan, saat ini sebagian orang tua ikut mendorong agar anak-anaknya terjun ke arus dunia yang siap pakai, meski harus mengkhianati nilai luhur. Memperjuangkan terwujudnya ’mimpi’ sendiri yang sarat nilai-nilai ideal memang berat. Masih mungkinkah anak-anak mewujudkan ’mimpi’ murni berangkat dari imajinasi serta gagasan sendiri?”

Daftar Rujukan
Ibnoe Savy, Wees. 2007. ”Dongeng yang Memberdayakan”. Jurnal Budaya Surabaya, tahun II No. 07 Juni, hal. H.
Yudha, Andi. 2007. Cara Pintar Mendongeng. Bandung: Mizan Media Utama.