Pages

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 27 April 2008

Analisis terhadap novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata

Potret Pendidikan Kaum Marginal di Indonesia: Sebuah Pembelajaran Hidup
Analisis terhadap novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata

Oleh: Ahmad Shofi

“Mengapa disebut Laskar Pelangi,” tanya Kick Andy.
“Ketika itu saya belum sadar maksud yang tersembunyi dari panggilan itu. Sebenarnya beliau (bu Mus) mengobarkan julukan Laskar Pelangi kepada kami, karena kata laskar sendiri adalah pejuang,” jawab Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi.
(Program acara Kick Andy di Metro TV, Kamis 4 Oktober 2007 pukul 22.05 WIB)

Ini kisah nyata tentang sepuluh anak kampung di Pulau Belitong, Sumatera. Mereka bersekolah di sebuah SD yang bangunannya nyaris rubuh dan kalau malam jadi kandang ternak. Sekolah itu nyaris ditutup karena muridnya tidak sampai sepuluh sebagai persyaratan minimal.

Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di Belitong ini harus ditutup (halaman 4).

Keberuntungan atau lebih tepatnya takdir, rupanya masih berpihak pada sepuluh anak kampung Pulau Belitong ini. Sebelum sekolah ini ditutup, ada salah satu siswa yang bernama Harun mendaftarkan diri. Akhirnya, sekolah ini tetap eksis dan bisa terus melanjutkan pendidikannya untuk anak-anak Belitong.
Sungguh permasalahan pelik, di saat manusia membutuhkan pendidikan, banyak rintangan menghampiri. Pendidikan menjadi barang mewah yang harus diperjuangkan. Mau belajar saja harus mengantri terlebih dahulu. Siapa yang patut dipersalahkan dalam hal ini? Sekolah, pemerintah, ataukah sistem birokrasinya?

Berjuang “Belajar” dengan Segala Keterbatasan
Andrea Hirata dengan sangat cerdas mengangkat kisah nyata ini kedalam sebuah novel. Di buku tersebut Andrea mengangkat cerita bagaimana semangat anak-anak kampung miskin itu berjuang dengan gigihnya agar dapat belajar walaupun dalam keadaan yang serba terbatas. Mereka bersekolah tanpa alas kaki, baju tanpa kancing, atap sekolah yang bocor jika hujan, dan papan tulis yang berlubang hingga terpaksa ditambal dengan poster Rhoma Irama.
Andrea dan sembilan siswa SD Muhammmadiyah di Belitung hanyalah sebagian kecil dari sekian
banyak masyarakat Indonesia yang tersubordinasi, yang tertindas, dan terbelenggu dalam masyarakat marginal.

Sebagian besar masyarakat Indonesia memang masih hidup dalam keadaan marginal alias di bawah garis kemiskinan. Sungguh ironis, padahal wilayah Indonesia sendiri begitu luas. Kekayaan alamnya sangat melimpah. Tetapi, yang kita jumpai justru berlawanan. Ketimpangan strata sosial yang terjadi dalam masyarakat memperlihatkan kepada kita bahwasannya masih banyak sekali kemiskinan di negara tercinta ini. Mungkin juga ini terjadi karena masyarakat kita yang begitu heterogen. Indonesia sepertinya telah terjangkit virus kapitalisme. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terpuruk dengan kemiskinannya. Suasana kontras seperti langit dan bumi juga terjadi dalam novel ini, tepatnya di kampung Belitong. Mari kita amati bersama bagaimana Andrea menceritakan kampungnya.
Tak disangsikan, jika di zoom-out, kampung kami adalah kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam di sana, miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan miliaran dollar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der Rattenfanger von Hameln. Namun jika di zoom-in, kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi gedong (halaman 49).

Gedong adalah land mark Belitong. Ia lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap, menginterogasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” (halaman 43)

Ini merupakan salah satu bukti belum seiringnya peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kemakmuran. Penyebabnya adalah pertumbuhan ekonomi yang masih didominasi faktor modal sementara sumbangan produktivitas masyarakat masih rendah.
Termarginalisasinya sebuah daerah atau kelompok masyarakat merupakan salah satu faktor munculnya kemiskinan. Kemiskinan memiliki banyak dimensi, di antaranya kurangnya kebutuhan dasar, infrastruktur yang tidak memadai, buruknya kesehatan masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, serta income masyarakat yang rendah pula. Kebutuhan dasar rakyat belum terpenuhi secara optimal seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan (I Nyoman Mardika dalam tulisannya di sebuah situs di internet)

Sifat kesederhanaan atau yang lebih tepatnya kekurangan jelas sekali terlukis dari novel Laskar Pelangi ini. Sinkronitas antara kekayaan alam dengan masyarakat Belitong sendiri tidak terlihat. Orang-orang kaya didominasi oleh masyarakat gedong yang merupakan pemilik dan karyawan PN Timah. Sementara, masyarakat miskin Belitong semakin terkapar dengan keadannya.
**

Laskar Pelangi
Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang halus yang merekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu. Kami seperti anak-anak bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus. Sekali lagi kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum, Trapani yang rupawan, Syahdan yang liliput, kucai yang sok gengsi, sahara yang ketus, A Kiong yang polos, Samson yang duduk seperti patung Ganesha. Pria kesembilan dan kesepuluh adalah Lintang dan Mahar (halaman 85 dan 86).

Begitu banyak hal menakjubkan yang terjadi dalam masa kecil para anggota Laskar Pelangi. Sebelas orang anak Melayu Belitong yang luar biasa ini tak menyerah walau keadaan tak pernah bersahabat pada mereka. Lihatlah Lintang, anak Tanjong keriting yang genius. Setiap hari Lintang harus mengayuh sepeda tua yang sering putus rantainya ke sekolah. Pulang pergi sejauh 80 km pun dilakukannya demi memuaskan dahaganya akan ilmu, bahkan harus melewati sungai yang banyak buayanya sekalipun.

Lintang memiliki hampir semua dimensi kecerdasan. Dia seperti toko serba ada kepandaian. Dia adalah guru bagi teman-temannya. Lintang pernah mengharumkan nama perguruan Muhammadiyah ke arah level tertinggi. Dia membawa pulang trofi besar kemenangan dalam sebuah lomba kecerdasan. Sekolah kampung pertama yang menjuarai perlombaan ini dan dengan sebuah kemenangan mutlak.

Aku terpaku memandang Lintang, betapa aku menyayangi dan kagum setengah mati pada sahabatku ini. Dialah idolaku. Pikiranku melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika sang bunga pilea ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsut-ingsut naik sepeda besar 80 kilometer setiap hari untuk sekolah, ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri. Dan hari itu ia meraja di sini, di majelis kecerdasan yang amat terhormat ini (halaman 383).

Di samping Lintang, ada Mahar. Seorang pesuruh tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan. Bakat seni Mahar pertama kali muncul ketika ia menyanyikan sebuah lagu Tennesse Waltz yang sangat terkenal karya Anne Muray. Mahar memiliki kapasitas estetika yang tinggi dan melahirkannya sebagai seniman yang serba bisa. Ia seorang pelantun gurindam, sutradara teater, penulis yang berbakat, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang ulung, dan pemain sitar yang fenomenal. Walaupun terkadang gagasan dan pikirannya tidak logis, dan sering diremehkan sahabat-sahabatnya, namun Mahar berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka dalam karnaval 17 Agustus.

Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas, atau laksana Thomas Alva Edison muda dan Rabindranath Tagore junior yang berkumpul. Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas dalam bidangnya masing-masing. Tanpa mereka, kelas kami tak lebih dari sekumpulan kuli tambang melarat yang mencoba belajar tulis rangkai indah di atas kertas bergaris tiga (halaman 140).
**

Setiap anak pasti mempunyai cita-cita, begitu pula para anggota Laskar Pelangi. Salah satu anggota Laskar Pelangi, Lintang bercita-cita ingin bersekolah ke luar negeri. seperti yang sering didorong oleh guru mereka. Sayang, cita-cita Lintang terpaksa kandas. Lintang bahkan tak tamat SMP karena orangtuanya yang nelayan meninggal tepat ketika usia sekolah Lintang tinggal empat bulan lagi. Sungguh ironi. Seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulau terkaya di Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya.
Ibunda guru,
Ayahku telah meninggal, besok aku akan sekolah.
Salamku, Lintang.
Sepucuk surat dari Lintang (halaman 430).

Ini kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini aku kehilangan teman sebangku selama sembilan tahun. Ini tidak adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup (halaman 432-433)
Ditengah berbagai berita dan hiburan televisi tentang sekolah yang tak cukup memberi inspirasi dan spirit, Laskar Pelangi memberikan realita kesejukan tentang sekolah yang hakiki.
Sekolah dan universitas ternyata “sukses” mencetak manusia-manusia yang menjadi tua (growing older). Akan tetapi tidak pernah sungguh-sungguh menjadi dewasa (growing up). Singkatnya, kebanyakan manusia dewasa, dan terutama bekas anak sekolahan (termasuk sarjana dengan “S” berapa pun), hanya besar secara fisik, tetapi secara social, mental, dan spiritual mereka “kerdil” (Harefa, 2001:46-47).

Laskar Pelangi menolak semua anggapan itu. Buktinya, mereka sangat mencintai dunia mereka. Dunia yang menurut mereka memberi makna yang mendalam bagi keberlangsungan hidup di kemudian hari. Walaupun dengan segala keterbatasan, mereka tetap semangat dan tetap tegar menghadapi segala permasalahan. Dengan kebersamaan, mereka seakan lupa dengan keadaan keterpurukan yang menghimpit mereka selama ini.
**

Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena. Lintang, si genius, Isaac Newtonnya Sekolah Muhammadiyah yang dulu dielu-elukan karena kecerdasannya yang luar biasa, sekarang tak lebih hanya sebagai seorang sopir tronton.
Selain Lintang, ada Trapani yang semenjak kecil selalu tidak bisa berpisah dengan ibunya, setelah dewasa ia menderita penyakit mother complex yang sangat ekstrem. Adapun A Kiong dan Sahara, mereka berdua akhirnya bersatu dalam sebuah keluarga dan sekarang mempunyai lima anak. A Kiong dan Sahara akhirnya membuka toko kelontong dan mempunyai pegawai yang bernama Samson.

Harun yang dulunya adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, sekarang ia adalah orang dewasa yang terperangkap dalam pikiran anak kecil. Mahar sendiri adalah seorang budayawan yang sibuk mengajar dan mengorganisasi kegiatan. Pekerjaan sampingannya adalah sebagai pelatih beruk.

Lain pula cerita Syahdan. Ia yang dulu sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi, tidak bias diandalkan untuk hal-hal berbau teknik, setelah dewasa justru menduduki posisi sebagai Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor pusat di Tangerang.

Sedangkan sang penulis, Andrea sendiri adalah orang yang bertekad meneruskan cita-cita Lintang, yakni berkuliah di luar negeri, setelah sekian puluh tahun akhirnya berhasil mendapat beasiswa sekolah ke Sorbonne, Prancis. Sekarang ia bekerja sebagai analis di kantor pusat PT Telkom Bandung. Laskar Pelangi adalah novel pertamanya.

Acuan Pustaka
Harefa, Andreas. 2001. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas Media Nusantara Hirata, Andrea. 2006. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Kick Andy. Metro TV, Kamis 4 Oktober 2007 pukul 22.05 WIB

0 komentar: